Kamis, 31 Maret 2016

Jadilah Akhirku

Sekali lagi harus berada di sini. Di posisi sulit yang terkadang aku tak mengerti.
Menghadirkan rasa tanya yang menggelitik, bagaimana mungkin arahnya lagi-lagi menuju ke sini?
Tapi sudahlah. Bukankah tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini.
Ah... Mungkin sebelumnya aku harus mengingatkan, maaf bahwa tulisan kali ini mungkin tanpa arah. Bukan bermaksud mengutip nama blog salah satu sahabat, bukan. Sehingga mungkin benang merahnya agak sulit terbaca.
Entahlah, rasanya ingin menuangkan segala apa yang ada dalam pikiranku.
Namun, sepertinya semesta malam ini sedang ingin tertawa menyaksikan betapa lucunya seorang lelaki (yang katanya) keren, dalam keadaan layaknya trance. Hidup di dua Dunia.
Merasa sendiri di keramaian.
Kesepian di keriuhan.
Menggigil di teriknya Matahari.
Gerah di dalam lemari es.
Okeh... Yang terakhir memang menghilangkan unsur puitis. Tetapi bukankah sudah ku katakan, tulisan ini tanpa arah.
Intinya, pernahkah dalam hidupmu, engkau menunggu?
Menunggu sebuah jawaban atas pertanyaan yang engkau lontarkan.
Sebuah pertanyaan, yang engkau tahu jawabannya sanggup mematikan seluruh sel-sel dalam tubuhmu.
Sebuah pertanyaan layaknya guillotine, dan dengan suka rela engkau pertaruhkan lehermu di bawah ancamannya yang mengilap berbahaya.
Sebuah pertanyaan yang engkau berharap diiringi jutaan doa agar jawabannya adalah 'TIDAK,' tetapi tak terkabul.
Dan semesta pun tertawa.
Tetapi mungkin pada saat itu, ada seseorang yang dalam diamnya berkata, "berhentilah berharap, dan jadilah akhirku. Doamu untuknya mungkin tak sehebat doaku untukmu."
"Tidurlah di pangkuanku. Aku ingin menjadi alasanmu tertidur dan berhenti berharap lagi untuk bermimpi."
"Semua mimpimu ada di sini."
Yah.... Di sini (nunjuk diri sendiri).
( Ternyata bikin tulisan absurd itu gak gampang, ya?!)






Rabu, 16 Maret 2016

(NOT) THE SECOND ANGEL

Jadi akhirnya kita harus kembali seperti semula. Di mana semua hal harus kembali biasa dan tak ada yang istimewa. Kalau pun ada, sudah waktunya memendamnya sendiri. Yah, seperti saat lalu.

Entah apa yang harus aku katakan, mungkin memang lebih baik biarkan saja begini. Apa adanya, tak harus terucap. Hingga waktu kan membuat semuanya jelas, tanpa lagi tanya kemana arah jalan kita.

Apakah akan kembali seiring atau menjadi sebuah sejarah yang terulang lagi dan lagi?

Biarlah. Tak perlu memaksa mencari jawabnya sekarang.

Yang jelas, tetap akan ada waktunya laut dan langit kembali biru. Meski mungkin butuh waktu entah berapa lama, untuk membiru seperti dahulu.

Atau nyanyian jatuhan hujan akan kembali menyenandungkan nada-nada ceria.

Biarkan semua berjalan seperti yang telah digariskan. Lagipula, saat-saat seperti ini bukanlah yang pertama. Pengalaman telah mengajarkanku banyak hal, termasuk caranya mengikhlaskan.

Rasanya tak perlu lagi dijelaskan panjang lebar, bahwa aku telah belajar dan terlatih mengikhlaskan. Terbiasa mendoakan hal-hal baik untuk yang dicintai.

Sudahlah, mari kita nikmati saja saat-saat ini. Saat tak ada lagi beban dan ikatan yang (mungkin) membuat langkah kita terasa dihalang-halangi.

Kelak pada saatnya, jika ternyata kita mengambil langkah yang berbeda, ingatlah. Bahwa kita pernah mencoba, namun terhenti.

Bukan gagal, tetapi mungkin ada pelajaran yang bisa kita ambil.

Termasuk mengikhlaskan.

Dan jika kelak jalan kita tak lagi bersinggungan, perkenankan aku pada saat itu mengucapkan maaf.

Maaf atas mimpi-mimpi yang kelak kan terwujud tanpa engkau di sisiku.

Atas perjuangan yang harus diteruskan masing-masing.

Atas doa-doa yang kutujukan untukmu, dan doamu yang kau tujukan untukku yang ternyata kalah dengan doa entah siapa, yang meminta masing-masing kita untuk mereka.

Atau mungkin salah satu dari kita, memang telah berhenti untuk mendoakan?

Tetapi tetap maaf, maaf jika Bidadari Kedua itu ternyata bukan engkau.

Yaah... Apapun pilihan masing-masing kita... Ah, mungkin tak ada lagi kata "kita," hanya aku dan kamu.

Apalah, yang jelas jangan lupa bahagia.

Sabtu, 12 Maret 2016

BROKEN BLUE

Akhirnya kita bersua setelah sekian lama.

Sebuah perjumpaan yang memang sedikit canggung. Bukan karena apa, hanya tak mengira wajahmu masih saja bisa membuatku lagi (dan lagi) merasa jatuh.

Kita pun saling berbagi cerita.Tak selepas biasanya. ada beban yang ku tahu tak hanya padaku, tapi juga di dirimu. Apa yang ada dalam pikiranmu, entah kenapa kini aku tak bisa menebaknya. Karena terlalu lama tak bertatap muka, ataukah ada penyebab lainnya. Aku benar-benar tak tahu.

Pastinya, ada satu hal yang diucapkan bibirmu yang ternyata bisa membuat sejenak Duniaku membeku, tak peduli sehebat apa persiapan yang telah kulakukan sebelum menemuimu.

Kau masih saja sehebat itu, selalu bisa membuatku merasakan seperti apa tak berdaya. Kembali menyadarkan bahwa lagi (dan lagi) aku harus terjatuh.

Dan tetap saja begitu sulit rasanya meninggalkan kejatuhan ini. Menghadirkan jutaan tanya kepada Sang Pengatur Takdir, yang ingin segera terjawab saat itu juga.

Bisakah aku tetap jatuh di kamu saja?

Entahlah..... Pertanyaan itu sepertinya tak akan terjawab saat ini.

Yang ku tahu saat ini aku merindukanmu.

Dan tentang hal yang kau tanyakan, sesungguhnya ada pertentangan besar antara isi hati dan apa yang terucap.



Apalah, yang jelas aku hanya ingin berada di sini setiap kali rindu itu menghampiri.

Karena setidaknya ketika hujan tak kunjung turun, di sini aku masih bisa mendengar suara jatuhan air.

Karena aku, kau tahu?!

Masih tetap sangat menyukai hujan, sama sepertimu.